Kegiatan Ramadhan dan Keutamaannya (1)

1. Berpuasa

Dari Abu Hurairah, Rasulullah SAW bersabda:

مَنْ صَامَ رَمَضَانَ إِيمَانًا وَاحْتِسَابًا غُفِرَ لَهُ مَا تَقَدَّمَ مِنْ ذَنْبِهِ

“Barangsiapa berpuasa Ramadhan atas dasar iman dan mengharap pahala dari Allah, maka dosanya yang telah lalu akan diampuni.” (HR. Bukhari no. 38 dan Muslim no. 760).

Yang dimaksud berpuasa atas dasar iman yaitu berpuasa karena meyakini akan kewajiban puasa. Sedangkan yang dimaksud ihtisab adalah mengharap pahala dari Allah Ta’ala. (Lihat Fathul Bari, 4: 115).

Al-Khattobi berkata, “Yang dimaksud ihtisab adalah terkait niat yaitu berpuasa dengan niat untuk mengharap balasan baik dari Allah. Jika seseorang berniat demikian, ia tidak akan merasa berat dan tidak akan merasa lama ketika menjalani puasa.”

Hadits yang kita kaji di atas menunjukkan itulah orang yang berpuasa dengan benar. Benarnya puasanya jika didasari atas iman dan puasa tersebut dilakukan ikhlas karena Allah, mengharap pahala-Nya, mengagungkan syari’at-Nya, bukan melakukannya atas dasar riya’, cari pujian atau hanya sekedar mengikuti kebiasaan orang sekitar.

Kalau seseorang mendasari puasanya karena dasar iman, mengharap pahala dan ridha, maka tentu hatinya semakin tenang, lapang dan bahagia. Ia pun akan bersyukur atas nikmat puasa Ramadhan yang ia dapati tahun ini. Hatinya tentu tidak merasa berat dan susah ketika menjalani puasa. Sehingga ia pun terlihat berhati ceria dan berakhlak yang baik. (Lihat kitab Ramadhan karya Dr. Muhammad bin Ibrahim Al Hamad, hal. 18.)

Hadits di atas juga menunjukkan bolehnya kita mengharap pahala atau balasan dari Allah ketika menjalani suatu ibadah, itu tidak mengapa. Dan itulah yang disebut ikhlas.

2. Qiyam Ramadhan

مَنْ قَامَ رَمَضَانَ إِيْمَانًا وَاحْتِسَابًا غُفِرَ لَهُ مَا تَقَدَّمَ مِنْ ذَنْبِهِ
(رواه البخاري ومسلم)

Barangsiapa yang melakukan qiyam (di malam hari) Ramadhan dengan dasar iman, dan berharap pahala dan ridha Allah, maka akan diampuni dosanya yang telah lalu.” (HR. Bukhari-Muslim dari sahabat Abu Hurairah)

Imam an-Nawawi menjelaskan, makna “Imanan” adalah membenarkan, bahwa itu memang benar, dengan nilai keutamaan. Sedangkan makna “Ihtisaban” adalah dia menginginkan Allah Subhanahu wa Ta’ala, bukan berharap dilihat manusia, dan bukan yang lain. Sesuatu yang menyalahi keikhlasan.

Al-Hafidz Ibn Jauzi menambahkan,
“Sabda Nabi saw, “Imanan wahtisaban”, maksudnya membenarkan Dzat yang Disembah, yang Maha Memberi Perintah kepadanya, dengan meyakini keutamaan qiyamu lailnya, dan kewajiban puasanya. Takut terhadap siksa-Nya ketika meninggalkannya, serta berharap pahala-Nya yang berlimpah. Inilah sifat orang Mukmin.”

Jadi, siapa saja orang Mukmin, yang bangun di malam hari Ramadhan untuk ketaatan kepada Allah Subhanahu wa Ta’ala, dengan dasar keimanan kepada-Nya, bahwa ini adalah perintah-Nya, meyakini keagungan fadhilah-nya, lalu menjalankannya dengan ikhlas semata untuk-Nya, berharap ridha dan pahala-Nya, maka dosa yang telah dia lakukan sebelumnya niscaya akan diampuni oleh Allah Subhanahu wa Ta’ala.

3. Sahur

عَنْ أَنَسٍ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُ قَالَ: قَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ: تَسَحَّرُوا فَإِنَّ فِي السُّحُورِ بَرَكَةً. (رواه البخاري ومسلم)

Dari Anas bin Malik Radhiyallahu anhu, beliau berkata: Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam telah bersabda, “Bersahurlah kalian karena dalam sahur ada keberkahan.” (HR. Bukhâri no. 1789 dan Muslim no. 1835)

Al-Hâfizh Ibnu Hajar rahimahullah berkata, “Keberkahan dalam sahur muncul dari banyak sisi, yaitu (karena) mengikuti sunnah, menyelisihi ahli kitab, memperkuat diri dalam ibadah, menambah semangat beraktifitas, mencegah akhlak buruk yang diakibatkan rasa lapar, menjadi pendorong agar bersedekah kepada orang yang meminta ketika itu atau berkumpul bersamanya dalam makan dan menjadi sebab dzikir dan doa di waktu mustajab. [Khulâshatul Kalâm Syarh Umdah al-Ahkâm, hlm. 111]

Keberkahan sahur yang bersifat duniawi adalah menikmati makanan dan minuman yang halal yang disukainya dan dapat menguatkan orang yang berpuasa serta menambah semangat untuk melakukan ketaatan selama berpuasa. Demikian juga terjaga kekuatan badan dan semangat aktifitasnya.

Sahur disunnahkan untuk diperlambat sampai mendekati waktu Shubuh (fajar) sebagaimana yang dilakukan Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam.

Dijelaskan dalam hadits Ibnu Abbas Radhiyallahuma anhu dari Zaid bin Tsabit Radhiyallahu anhu , beliau berkata:

تَسَحَّرْنَا مَعَ النَّبِيِّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ ثُمَّ قَامَ إِلَى الصَّلَاةِ, قُلْتُ: كَمْ كَانَ بَيْنَ الْأَذَانِ وَالسَّحُورِ قَالَ: قَدْرُ خَمْسِينَ آيَةً.

Kami bersahur bersama Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam , kemudian beliau pergi untuk shalat.” Aku (Ibnu Abbas) bertanya, “Berapa lama antara adzan dan sahur?” Beliau menjawab, “Sekitar 50 ayat.”

Syaikh Muhammad bin Shalih al-Utsaimin rahimahullah menjelaskan hadits tersebut, “Ketika memperkuat badan untuk berpuasa dan menjaga semangat beraktifitas padanya termasuk tujuan makan sahur, maka termasuk hikmah adalah mengakhirkannya. [Tanbîhul Afhâm, 3/39]

4. Berbuka Puasa

وَعَنْ سَهْلِ بْنِ سَعْدٍ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُ، أَنَّ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ: لَا يَزَالُ النَّاسُ بِخَيْرٍ مَا عَجَّلُوا الْفِطْرَ.(مُتَّفَقٌ عَلَيْهِ)

Dari Sahl bin Sa’ad radhiyallahu ‘anhu, bahwa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Manusia senantiasa berada dalam kebaikan selama mereka menyegerakan waktu berbuka.” (Muttafaqun ‘alaih).

Hadits ini menunjukkan perintah untuk buka puasa dan disunnahkan menyegerakan berbuka puasa ketika telah tiba waktunya yaitu saat matahari tenggelam.

Demikianlah petunjuk Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam dan para sahabatnya tentang buka puasa.

Syaikh Abdullah Fauzan hafizhohullah berkata, “Hendaklah setiap muslim bersemangat mengamalkan sunnah ini, yaitu menyegerakan waktu berbuka.

Ini bisa melakukannya dengan cara menyibukkan diri di sore hari dengan membaca Al Qur’an, berdzikir dan berdo’a. Janganlah pada saat itu ia keluar dari rumahnya kecuali dalam hal penting saja sehingga ia tidak luput dari banyak kebaikan.

Jangan sampai ketika muadzin menyuarakan adzan sedangkan ia berada di jalan menuju rumahnya lalu luput darihya waktu berdo’a saat berbuka dan luput pula sunnah menyegerakan berbuka, wallahul musta’an.” (Minhatul ‘Allam, 5: 28). /Azhari

Leave a Comment