Kritik Terhadap Enam Tahapan Menjadi Radikal
Oleh. Mohammad Ramli
MELALUI Staf Kepresidenan, Istana mengeluarkan ‘fatwa’ tentang tahapan orang bisa menjadi radikal sampai menjadi suatu komunitas. Sontak argumen yang terbilang “kacangan” ini menjadi berita utama dalam media mainstream maupun media massa.
Dikutip dari Republika, seseorang tidak begitu saja berubah dan menjadi radikal. Setidaknya, ada enam anak tangga yang harus dilewati, hingga ia sepenuhnya terpapar radikalisme. Ada sebuah cerita yang yang menghasilkan relevansi sehingga seseorang menjadi radikal, begitulah Fahd Pahdepie memulai argumentasinya dalam acara Seminar bertajuk “Moderasi Beragama di Kalangan Milenial”.
Fahd yang bertindak selaku narasumber yang juga Staf Ahli Kantor Staf Presiden Republik Indonesia “mensabdakan” bahwa ada enam tahap atau anak tangga yang harus dilewati. Pertama, persepsi dirinya diperlakukan tidak adil yang kemudian mencari orang lain yang memiliki keluhan atau persepsi yang sama. Kedua, ia akan memiliki perasaan dan persepsi bahwa ketidak adilan yang dia rasakan akibat dari otoritas (pemerintah, pen).
Di tangga ketiga, baru berkumpul orang-orang yang sepemikiran dan merasa kehidupannya selalu tidak adil. Lalu beranjak ke tangga berikutnya, mereka akan menggunakan ayat-ayat atau teori dan pemikiran orang lain sebagai argumen pembenaran persepsi mereka.
“Di tangga ke lima, terbentuk konsep kelompok-kelompok. Sekarang muncul aku atau kami melawan kalian. Dan di tangga terakhir, barulah mereka benar-benar ekstrem dimana yang semula hanya ada di pemikiran berubah menjadi perilaku dan tindakan,” ucap Fahd.
Begitulah ceritanya seseorang bisa menjadi radikal, dimana publik tanah air digaduhkan dengan persoalan ini. Mari kita lihat kelemahan argumen ini.
Kalau melihat substansi dari narasi di atas, maka muncul pertanyaan apakah proses menjadi radikal seperti di atas berangkat dari teori atau penelitian ilmiah sehingga dapat dipertanggungjawabkan, atau adakah fakta sejarah yang menjadi dalilnya? Atau hanya karangan cerita yang kurang cerdas?
Sebab jika kita meng-amini “sabda” di atas maka sesungguhnya hulu dari hilir radikalisme bukan masalah teologi (agama), tapi problem sosial, harusnya ini bisa diselesaikan dengan pendekatan yang lebih cantik. Misalnya dalam konteks apa persepsi tidak adil yang dirasakan tersebut, pemerintah dengan seabrek instrumennya dapat mengidentifikasi dan menyelesaikannya dengan baik tanpa atmosfer zamrud katulistiwa menjadi gaduh. Atau jangan-jangan pemerintah sendiri selaku pemegang otoritas kebijakan cenderung tidak adil, dan itu bukan menjadi rahasia lagi, lalu kenapa yang disalahkan rakyat, apalagi dituduh radikal.
Berikutnya lagi, dengan adanya pernyataan di atas maka semakin tidak jelas duduk perkara “radikalisme” karena semua menteri punya argumen yang berbeda. Misalnya, persoalan radikalisme adalah ideologi, sehingga masjid perlu diawasi dengan polisi masjid, majelis taklim “ditertibkan”. Dan menurut Wakil Presiden pencegahan radikalisme mulai dari PAUD.
Kalau kita korelasikan kacaunya argumen di atas maka semakin tidak konstruktif cara negara berpikir. Kalau berangkat dari persoalan sosial (perspektif diperlakukan tidak adil), lalu apa hubungannya dengan kegiatan proses pendidikan, khutbah jumat, majelis taklim, celana cingkrang, cadar, dan lain-lain.
Dalam fakta sejarah, perspektif dan rasa ketidakadilan, tidak pernah membentuk menjadi suatu perbuatan radikal, apalagi sampai mengarah pada perilaku teroris yang dapat mengancam NKRI, cukup perkumpulannya menjadi organisasi terbuka, menjadi partai politik dalam rangka memperjuangkan nilai-nilai keadilan dan itu sah-sah saja dalam alam demokrasi. Dan mereka bukan anti Pancasila, NKRI, karena dalam konstitusi keadilan sudah diamanahkan. Bahkan, satu-satunya kata yang diulang dua kali penyebutannya dalam Pancasila adalah kata “adil” yakni sila ke-2 dan ke-5. Jadi hakikatnya bukan anti Pancasila tapi anti pemerintah dalam konteks kritik agar siapapun pemerintahnya dapat berbenah.
Jadi dari sini kelihatan sekali bahwa negara sudah terjebak lebih jauh dalam perangkap diksi radikalisme, sementara dalilnya belum “rajih” sehingga konsekuensi yang ditimbulkan adalah berebut narasi, melahirkan polisi masjid, mengawasi majelis taklim, memberangus radikalisme dari PAUD, dan lain-lain, yang semua ini hanyalah alibi pembenaran terhadap adanya makhluk radikalisme belum jelas wujudnya, yang seolah menyampaikan bahwa radikalisme sedang mengancam keutuhan negara, padahal dia masih seperti “hantu belau”.
Sepertinya ghirah kebangsaan dalam konteks keislaman harus kembali ditumbuhkan, agar pertarungan pemikiran dan identitas jelas tidak menjadi “abu-abu”. Sudah saatnya negara ini diurus oleh orang-orang yang tepat, mengerti sejarah, bahwa yang menyatukan bangsa Indonesia ini bukan bahasa, budaya tapi agama Islam sebagaimana dikatakan oleh Tian Anwar Bachtiar dalam bukunya Jas Mewah. Sehingga menjadi tidak masuk akal kalau Islam menjadi bulan-bulanan negara.
Kita berharap dalam situasi seperti ini, orang nomor 1 di RI segera menghentikan kegaduhan ini, atau apakah ini memang menjadi komoditi untuk menutupi “aib” yang lebih besar. Atau jangan-jangan tulisan saya ini juga masuk dalam klasifikasi radikalisme, kalau begitu demokrasi telah terkubur mati di negeri ini. Allahu A’lam!* (Ketua STIT Hidayatullah)