Muhasabah Hardiknas
Oleh: Muhammad Ramli
SETIAP tanggal 2 Mei Masyarakat Indonesia, khususnya insan pendidikan selalu diramaikan dengan perayaan hari pendidikan nasional.
Pemerintah daerah atau kota selalu mengadakan upacara bersama. Lapanganpun menjadi lautan batik khas PGRI, kepala sekolah dan guru yang diutus oleh masing-masing sekolah datang untuk mengikuti kegiatan tahunan tersebut.
Dalam sejarahnya, tanggal 2 Mei ditetapkan sebagai hari penting dalam pendidikan, diambil dari tanggal lahirnya Ki Hajar Dewantara, yang dianggap sebagi tokoh yang berjasa dalam merintis pendidikan di Indonesia pada masa penjajahan Belanada dengan mendirikan Perguruan Taman Siswa suatu lembaga pendidikan yang memberikan kesempatan bagi para pribumi jelata untuk bisa memperoleh hak pendidikan seperti halnya para priyayi maupun orang-orang Belanda.
Bahkan semboyan sang bapak pendidikan telah mengantarkan namanya semakin abadi di atmosfer Bumi Indonesia. Ing Ngarso Sung Tulodo, Ing Madyo Mangun Karso, Tut Wuri Handayani. Dimana bagian yang ketiga dari semboyan itu dijadikan tulisan resmi dalam logo pendidikan nasional.
Namun Seperti halnya sejarah Kartini, yang akan selalu mendapat suntikan pencerahan dan kritikan pedas. Maka hardiknas juga akan mengalami nasib yang sama. Kenapa harus Ki Hajar Dewantara, padahal ada yang lebih layak untuk dijadikan bapak pendidikan di bumi nusantara ini. Sebagaimana yang dimuat dalam situs resmi yang dikelola oleh anak-anak muda Muhammadiyah (sangpencerah.com yang dimuat tanggal 1 Mei, 2016) dengan tema: “KH. Ahmad Dahlan, Lebih Pantas Menjadi Bapak Pendidikan”
Terlepas dari siapakah yang layak jadi bapak pendidikan, sebagai seorang muslim hal itu tidak terlalu subtansial apalagi menjadi perdebatan yang cukup menguras energi tenaga dan pikiran. Masih banyak pekerjaan rumah yang harus kita selesaikan guna membangun Indonesia yang lebih baik, maju dan berperadaban yang diridhoi Allah Subhanahu Wata’ala. Dan biarlah Allah yang menilai siapa yang lebih berhak mendapatkan pengakuan dan terbaik disisinya.
الَّذِي خَلَقَ الْمَوْتَ وَالْحَيَاةَ لِيَبْلُوَكُمْ أَيُّكُمْ أَحْسَنُ عَمَلا وَهُوَ الْعَزِيزُ الْغَفُورُ
“Yang menjadikan mati dan hidup, supaya Dia menguji kamu, siapa di antara kamu yang lebih baik amalnya. Dan Dia Maha Perkasa lagi Maha Pengampun.” (QS. Al Mulk: 2)
Mari sejenak mengintip kembali tujuan dan fungsi pendidikan nasional kita. Orientasi pendidikan nasional telah dirumuskan dalam UU No 20 Tahun 2003, BAB II Pasal 3:
“Pendidikannasional berfungsi mengembangkan kemampuan dan membentuk watak serta
Peradaban bangsa yang bermartabat dalam rangka mencerdaskan kehidupan bangsa, bertujuan
Untuk berkembangnya potensi peserta didik agar menjadi manusia yang beriman dan bertakwa
Kepada Tuhan Yang Maha Esa, berakhlak mulia, sehat, berilmu, cakap, kreatif, mandiri, dan
Menjadi warga negara yang demokratis serta bertanggungjawab.”
Rumusan Undang-undang diatas adalah menjadi kompas kemana arah pendidikan kita bergerak, laju dan kencangnya angin kurikulum yang selalu berubah-rubah dengan gaya yang berbeda tidak boleh lari dari esensi tujuan pendidikan di atas.
Bangsa yang berperadaban dan bermartabat hanya akan lahir jika proses pendidikan yang kita lakukan menghasilkan outputpeserta didik yang beriman dan bertakwa kepada Allah. Jika tidak ada usaha serius dilakukan ke arah itu maka sesungguhnya kita telah lari dari amanat undang-undang diatas.Pendidikan keimanan harus menjadi nomor wahid dalam setiap nafas pendidikan kita, tranformasi ilmu pengetahuan harus dibingkai dengan nilai-nilai tauhid.
Menhghasilkan peserta didik yang berakhlak mulia sebagaimana amanah undang-undang di atas bukanlah perkara yang mudah. Sistem yang dibangun, aturan yang ditegakkan harus mengambil spirit dari Al-Qur’an sebagai “Centred Character”.
Tujuan yang mulia ini selaras dengan misi rasulullah diutus oleh Allah:
إِنَّمَابُعِثْتُلِأُتَمِّمَصَالِحَالْأَخْلَاقِ
“Sesungguhnya aku diutus hanya untuk menyempurnakan budi pekerti yang luhur.“
Dan rasulullah telah dinobatkan oleh Allah sebagai sosok manusia yang memiliki akhlak yang agung. Sebagaimana firman Allah
وَإِنَّكَ لَعَلَىٰ خُلُقٍ عَظِيمٍ
“Dan sesungguhnya engkau benar-benar berbudi pekerti yang agung.” (QS: Al-Qolam: 4)
Dan A’isyah pernah ditanya tentang akhlak rasulullah maka akhlak beliau adalah al-Qur’an. maka sudah saatnya kita dekatkan anak didik kita dengan Al-Qur’an.
Tugas pendidikan harus menjadi tanggungjawab bersama, terlebih negara dalam hal ini Kementerian Pendidikan sebagai konstitusi resmi, harus melihat kembali tujuan dan fungsi pendidikan yang menjadi dasar, lalu mengevaluasi seluruh sistem dan kebijakan pendidikan yang ada. Jika memang masih “jauh panggang dari api” maka mari berbenah. Agar kelak anak didik yang kita lahirkan sebagai harapan bangsa menjadi generasi yang beriman dan berkahlak mulia.
وَلَوْ أَنَّ أَهْلَ الْقُرَى آمَنُوا وَاتَّقَوْا لَفَتَحْنَا عَلَيْهِمْ بَرَكَاتٍ مِنَ السَّمَاءِ وَالأرْضِ وَلَكِنْ كَذَّبُوا فَأَخَذْنَاهُمْ بِمَا كَانُوا يَكْسِبُونَ
“Jikalau sekiranya penduduk negeri-negeri, beriman dan bertaqwa, pastilah Kami akan melimpahkan kepada mereka, berkah dari langit dan bumi, tetapi mereka mendustakan (ayat-ayat Kami) itu, maka Kami siksa mereka, disebabkan perbuatan-nya.” (QS.7:96)
Mari kita jemput janji Allah dalam firman-Nya diatas dengan mulai menanam sejak saat ini, sehingga kalaupun bukan kita yang merasakan buahnya. Namun hasilnya semoga dapat dipetik oleh generasi-generasi yang akan datang. Selamat “berhardiknas”. Allahu A’lam.*