ONTOLOGI IQRA: Hakikat dan Wujudnya
Oleh: Dr. Lalu Wathan
Renungan mendalam terhadap segala sesuatu dan segala objek merupakan aplikasi term iqra, tak terkecuali tulisan ini. Maka apakah sebenarnya ma’na iqra’?
Term iqra’ merupakan kata pertama dari wahyu pertama yang diturunkan kepada Nabi Muhammad saw. Term tersebut menggunakan kata imperatif/amar yang berasal dari akar kata qara’a. sehingga berarti “bacalah olehmu” (lihat QS. Al-‘Alaq ayat 1 dan 3).
Dan sungguh mengherankan perintah pertama Allah Swt. kepada Nabi Muhammad Saw adalah Iqra (“bacalah!”). Betapa tidak, beliau diperintahkan membaca padahal beliau adalah seorang yang tidak pandai baca tulis. Namun demikian keheranan itu segera akan sirna begitu kita menyadari bahwa membaca memiliki makna yang sangat luas dan mendalam, sehingga menjadilah membaca sebagai tangga menuju kebahagiaan dunia dan akhirat.
Perintah pertama itu tidak menyebut obyek bacaan tetapi menyebut motivasi dan tujuan membaca yakni bismi rabbika yakni “dengan atau demi karena Tuhanmu”.
Iqra pada mulanya berarti “menghimpun”. Jika ada kata misalnya “membaca” maka sebelum mengucapkannya dengan lidah atau di dalam benak kita, sebenarnya melihat ketujuh huruf itu satu persatu terlebih dahulu (M-E-M-B-A-C-A). Setelah itu memperurutkannya lalu menghimpunnya dan seketika itu, setelah terjadi aneka proses yang sangat cepat, lahirlah bacaan yang berbunyi “membaca”.
Sungguh luar biasa mata dan otak kita. Sedemikian cepatnya ia bekerja sehingga lahir bacaan. Semakin terbiasa kita membaca, atau semakin terlatih kita, semakin cepat pula proses tersebut.
Kata iqra juga sangat menakjubkan. Kata ini dalam aksara Arab terdiri dari huruf-huruf qaf, ra dan hamzah. Ketiga huruf tersebut, betapapun kita mengotak-ngatik susunannya, dia tetap mempunyai makna.
Kita dapat mendahulukan huruf hamzah disusul dengan qaf dan ra sehingga dapat membaca kata aqarra yang antara lain bermakna “mengakui” atau “mantap dan tenang”. Juga dapat mendahulukan hamzah lalu meletakkan huruf ra di tengahnya dan huruf qaf di akhirnya, sehingga terbaca ariqa, yakni “gelisah” atau “sulit tidur”.
Kesemuanya dapat mengisyaratkan bahwa kalau tidak membaca, maka kita akan gelisah dan kalau gelisah maka kita tak dapat tidur dan ketika itulah kita tidak akan merasakan ketenangan. Sebaliknya kalau membaca, maka kita akan tenang, akan memperoleh pengetahuan dan kehidupan.
Demikianlah membaca kita lakukan supaya kita tahu. Seseorang tahu supaya tidak gelisah (ariqa) dan bila dia tidak gelisah, maka dia akan tenang dan mantap (aqara/istiqarra).
Namun, selama ini kita sering membatasi makna Iqra pada kegiatan membaca teks/huruf saja dan hal konteks tidak disebut sebagai membaca. Dan inilah yang menjadikan makna iqra menjadi “kurus dan kering”. Akibatnya orientasi iqra pun terbatas pada tekstualis saja.
Imam Ibn Manzur dalam Lisanul Arab memberikan makna iqra’ yang berarti bacalah teks (tulisan); bacalah ayat-ayat Allah, bacalah alam semesta ciptaan-Nya, bacalah manusia segala aspek kehidupannya, pahamilah, tetilitilah, bereksperimentasilah, ovservasilah, supervisilah, cermatilah, sampaikanlah, telaahlah, dalamilah, renungkanlah yang dilakukan secara tajam dan mendalam.
Demikian makna iqra yang sangatlah luas, bahwa membaca tidak bisa terhenti pada membaca huruf saja, namun bacalah alam jagad raya ini; bacalah gunung, bacalah daratan, bacalah lautan, bacalah angin (gelombang/satelit) dan seterusnya, dengan begitu kita bisa mendapatkan faedah dari membaca tersebut. Akhirnya dengan membaca segalanya, kita bisa mengelola alam denga baik, menciptakan penemuan-penemuan yang bermanfaat (sains dan teknologi).
Namun, ketika membaca alam sedikit dilakukan oleh umat Muslim akhirnya tugas ini diambil alih oleh non-Muslim yang kemudian membuat mereka superioritas dari kaum Muslimin. Dan inilah maksud bahwa satu diantara tugas kaum Muslimin adalah imarah al-ardhi yaitu mengelola bumi sesuai sistem Ilahi, karena kita tidak komitmen dengan tugas ini akhirnya diambil alih oleh non-Muslim yang menjadikan kita terbelakang.
Selain membaca ayat-ayat Tuhan dan membaca ayat-ayat alam, juga harus membaca ayat-ayat manusia seperti membaca pendidikan, sosial, antropologi, budaya, kesehatan, ekonomi, politik, hukum, meliter dan kebutuhan manusia lainnya.
Sebenarnya dengan perintah iqra seharusnya tidak ada lagi umat Islam yang alergi dari segala keilmuan, karena semuanya adalah objek yang harus dibaca. Sebagaimana Alquran tidak pernah memisahkan ayat-ayat ibadah/Ulum addin, muamalah/sosial-humaniora, kealaman/sains-teknologi didalamnya.
Hal tersebut sejalan dengan pendapat Muhammad Abduh yang mengatakan bahwa orientasi iqra itu adalah pertama, membaca ayat Tanziliyah yakni membaca ayat-ayat yang tertulis dan diturunkan yang dikenal dengan wahyu, diturunkan kepada Rasul berupa al-Quran dan Sunnah. Kedua, ayat Kauniyah yakni membaca ayat-ayat yang tercipta berupa alam semesta serta segala isinya; manusia, hewan, tumbuhan serta semua peristiwa yang terjadi di dalamnya.
Dengan demikian setiap pencarian pemahaman dan penelitian teradap apa saja merupakan manifestasi perintah iqra’. Mengisyaratkan betapa luasnya makna iqra’ yang sudah diperintahkan Tuhan bagi manusia.
Sudah jelas makna iqra, yaitu membaca segala obyek mulai dari yang terkecil sampai yang terbesar. Iqra menuntut kita membaca apa saja yang tertulis atau yang terhampar, yang buruk pun boleh dibaca selama motivasinya adalah bismi rabbika.
Makanya seorang arif pernah berkata:
Aku berusaha tahu yang buruk, bukan untuk melakukannya, tetapi untuk menghindarinya.
Siapa yang tak mengenal keburukan, maka dia dapat terjerumuskan ke dalamnya.
Mari kita penuhi tuntutan Allah yang memerintahkan membaca, dan mensyukuri anugerah-Nya itu dengan mengamalkan tuntunan-Nya. Dia memerintahkan Nabi-Nya, dan termasuk juga kita semua, bahwa iqra bismi rabbika yakni bacalah dengan nama atau demi nama Tuhanmu.
Menurut Syeikh ‘Abdul Halim Mahmud, pernah mengatakan:
“Membaca disini adalah lambang dari segala apa yang dilakukan oleh manusia, baik yang sifatnya aktif maupun pasif. Kalimat tersebut dalam pengertian dan jiwanya ingin menyatakan ‘bacalah demi Tuhanmu, bergeraklah demi Tuhanmu, bekerjalah demi Tuhanmu’.
Demikian pula jika kita berhenti bergerak atau berhenti melakukan sesuatu aktifitas, maka hendaklah hal tersebut didasarkan juga pada bismi rabbika, atau “jangan/tidak lakukan itu demi karena Tuhanmu! Berhentilah melakukan keburukan demi karena Tuhanmu, dan seterusnya’, sehingga pada akhirnya ayat tersebut berarti ‘jadikanlah seluruh kehidupanmu, wujudmu, dalam cara dan tujuannya, kesemuanya demi karena Allah.”
Abbas Mahmud al-Aqqad (1889-1964 M), seorang cendekiawan terkemuka Mesir,
pernah menulis bahwa ia membaca karena tanpa membaca maka hidup hanya satu, sedangkan ia hendak hidup lebih dari satu hidup. Yang dapat memberi hidup lebih dari satu hidup hanyalah bacaan, karena dengannya hidup semakin bermakna dan semakin dalam. Beliau pun pernah menulis:
“Ide Anda hanya satu, demikian juga perasaan dan imajinasi. Tetapi bila hal itu bertemu dengan ide, rasa dan imajinasi yang lain, maka ketika itu yang lahir bukan hanya dua ide, rasa dan imajinasi, tetapi banyak sekali sehingga tidak terhitung jumlahnya. Ini serupa dengan seorang yang duduk di antara dua cermin. Ia tidak melihat hanya satu gambar dirinya, tidak juga hanya dua, tetapi banyak sekali pandangannya ke seluruh penjuru cermin itu. Di dunia perasaan pun begitu. Jika Anda menggabungkan perasaan Anda dengan perasaan orang lain, maka gabungan cinta itu akan berkembang dan berkembang sehingga meluap ke mana-mana.
Nah, demikian juga dengan membaca. Betapapun manusia makan, maka dia tidak dapat memenuhi kecuali memenuhi satu pencernaannya saja. Betapapun dia berpakaian, maka dia tidak dapat menutupi kecuali satu jasadnya. Betapapun dia dapat bepergian ke mana saja, namun dia hanya bisa berada di satu tempat saja. Tetapi bila dia membaca, maka dia dapat mengumpulkan sekian banyak ide, rasa dan imajinasi dalam benaknya dan dengan demikian dia tidak hanya memiliki satu hidup saja”.
Kendati demikian, tidak bisa tidak, kita tidak boleh hanya sekadar membaca tanpa berpikir. Membaca tanpa berpikir bisa menjadikan seseorang bagaikan pecandu narkoba, yang berusaha lari dari kenyataan, merasakan kenikmatan sesaat, sambil lupa berpikir tentang akibat apa yang dimakannya itu.
Jangan sekali-kali juga berkata, “Tidak ada waktu untuk membaca”. Ini adalah ucapan nafsu yang membohongi diri sendiri. Kita bisa membaca dimanapun saja, tidak harus juga menggunakan waktu yang banyak.
Sungguh sangat wajar sekali Allah memulai wahyu-Nya kepada Nabi Muhammad SAW dengan perintah membaca. Kini semakin terbukti bahwa hanya orang dan masyarakat yang membaca yang dapat hidup sejahtera dan fikirnya terbuka.
Dapat disimpulkan bahwa ontologi iqra adalah membaca segala objek yang ada dari elemen apapun, fisik atau metafisik, jasmani atau rohani, materi atau immateri
karena sejatinya kesemua objek tersebut bersumber dari Allah yang telah diturunkan dan diperlihatkan dalam bentuk tulisan (ayat qauliyah) maupun yang berwujud alam jagad raya beserta isinya (ayat kauniyah). Pastinya antara ayat qauliyah (wahyu) dan ayat kauniyah (alam dan manusia) tidak akan mungkin bertentangan karena kesemuanya bersal dari yang Maha Satu, Maha Esa yaitu Allah Swt.