Persaingan yang Sakit
Apa pernah, kau merasa hidupmu hanya berada pada dua pilihan? Pertama, berusaha dan kau akan terlihat buruk. Kedua, diam mengikuti arus. Lalu orang-orang lantas akan memberimu kalimat tak sepadan?
Bergelut dengan pendidikan, rasanya, ada hal yang cukup menggelitik dari dunia pendidikan di negeri ini. Belasan tahun, pendidikan dengan nuansa persaingan tak pernah berhenti. Aromanya pekat dan hampa jika kompetisi tak berlangsung dalam sebuah institusi pendidikan.
Biasanya, hampir seluruh sekolah-sekolah, maupun perguruan tinggi mengadakan berbagai macam bentuk perlombaan dan pertandingan untuk mengukur kemampuan peserta didik mereka. Apa saja, yang penting, siapa yang berada di tingkat atas, atau memiliki kemampuan lebih. Maka merekalah yang menempati posisi teratas.
Namun, yang menarik dari ini yaitu, bahwa antara persaingan dan perbandingan tak berbeda jauh. Hasil akhir persaingan biasanya berujung pada perbandingan. Dan itu negatif.
“Ah, anak itu baik. Dia pintar dalam segala hal. Nggak kayak itu, udah malas, otaknya pun der-der”.
Percakapan-percakapan seperti ini sudah seringkali menghiasi obrolan-obrolan para pendidik di setiap institusi. Sebab, manusia, pada umumnya memang begitu menyukai perbandingan terhadap orang lain.
Namun sebenarnya, seorang pendidik yang benar-benar memahami etika kependidikan akan mampu menyibak celah dan melihat sisi baik dari anak didiknya. Bukan mengamati perkembangan lalu kemudian menyatakan perbandingan yang akhirnya membunuh karakter anak didik yang diberi stempel “golongan bawah”.
Akibatnya, anak didik tersebut tidak bersemangat dan bahkan menganggap dunia pendidikan adalah dunia yang penuh ancaman dan rasa pahit. Sebab yang mereka yakini adalah, bahwa pendidikan hanya milik orang orang dengan kemampuan lebih.
Pendidikan, hanya untuk pendidik dan peserta didik yang terpilih. Bukan seperti mereka yang mati-matian berjuang tetapi tak menghasilkan apapun.
Dalam konteks seperti ini, rasanya bukan hanya menjadi guru saja yang berat. Menjadi murid pun terasa begitu berat dan penuh beban, bagi yang telah terdikotomi.
Mereka harus menanggung beban perbandingan kelas ini. Tujuan belajar yang pada awalnya ikhlas untuk memperoleh ilmu namun akhirnya berbelok arah menjadi pengakuan dari para pendidik.
Sudah cukup. Hentikan cara ini. Jangan jadikan dunia pendidikan menjadi momok bagi makhluk pedagogical ini.
Seharusnya, kata A.Fuadi dalam novelnya Negeri 5 Menara, pendidikan mampu menjadi tonggak awal untuk membentuk manusia yang menemukan misinya dalam hidup.
Tolong, berikan kesempatan, bagi mereka untuk melihat betapa menuntut ilmu itu tak pernah membunuh. (Rahmania, Mahasiswi Semester 3 MPI)